Selasa, 03 Maret 2009

Membuka Takbir Wayang Purwa

Menurut cerita Jawa, awal adanya wayang yaitu pada masa raja Jayabaya di Kediri tahun 1135 Masehi. Pada saat itu raja Jayabaya ingin mengambarkan wajah para leluhurnya dengan lukisan pada daun rontal, meniru wajahpara dewa-dewa maupun manusia purba (purwa) sehinga karya raja Jayabaya itu kemudian disebut wayang purwa.

Menurut Dr. hazeu, cerita tentang wayang sudah ada sejak jamn raja Erlangga diKahuripan permulaan abad ke sebelas, karena pada masa Erlanga tersebut sudah ada ahli sastra kepercayaan raja Erlangga yakni Mpu Kanwa yang menulis kitab Arjuna Wiwaha. Isi dari kitab Arjuna Wiwaha antara lain menceritakan Arjuna ketika bertapa di dalam goa Witaraga sebagai brahmana dengan nama Ciptaning. Sebagai Pertapa, Arjuna berhasil membinasakan raksasa Niwatakawaca dari kerajaan Manimantaka yang bermaksud melamar bidadari Dewi Supraba. Atas jasanya itu, Arjuna mendapat penghargaan dari dewa Endra berupa sebuah panah lengkap dengan busurnya bernama panah Pasopati.

Hagema dalam bukunya “Handleiding lot Degechiede denis Van Java” menyebutkan bahwa pertama kali yang membuat wayang kulit adalah Raden Panji Inukertopati sekitar abad ke 13. Seperti kita ketahui, seni sastra Jawa kuna berlangsung pada jaman Kediri yang hasilnya sebagian besar berupa kakawin, misalnya kitab Kresnayana karangan Mpu Triguna, Samanasantaka karya Mpu Meraguna, Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Smaradahana karangan Mpu Dharmaja, Gatutkacasraya karangan Mpu Panuluh dan Wretasancaya karya Mpu Tanakung.

Seperti juga di Yunani dan India, pertunjukan wayang di Jawa juga berkembang dari upacara keagamaan, yakni untuk menghormati para dewa-dewa atau arwah nenek moyang yang dipandangsebagai para dewa. Sedangkan lakon atau ceritanya diambil dari hasil kesusastraan Jawa kuna yang ditulis pada daun lontar, yakni berupa gancaran (prosa) dan tembang (puisi). Tembang Jawa kuna inilah yang lazim disebut kakawin, sedangkan tembang tengahan dinamakan kidung.

Ditinjau dari sudut isi, kesusastraan jawa kuna terdiri dari tutur (kitab keagamaan), sastra (kitab hukum), wira carita atau epos seperti Mahabharata dan Ramayana.

Lakon merupakan gambaran tentang sifat dan karakter manusia di dunia. Karena sifat dan karakter begitu khas, maka banyak yang tersugesti. Oleh karena itu pertunjukan wayang dapat membuat penontonnya menjadi terharu. Pertunjukan yang pada awalnya hanya diceritakan oleh juru tutur dan sangat menyentuh hati, mulai berkembang pada masa Prabu Lembuamiluhur pada tahun 1244. Selanjutnya raja Brawijaya Majapahit mulai membuat wayang beber berwarna, pertunjukan wayang saat itu juga telah menggunakan iringan gamelan slendro.

Wayang purwa semakin menanjak pada masa perkembangan agama Islam di Jawa. Pada masa itu para wali menggunakan wayang sebagai media dakwah. Sunan Giri kemudian membuat wayang raksasa berbiji mata dua. Raden Patah (raja Demak pertama) membuat gunungan atau kayon. Sedangkan yang menyelenggarakan pertunjukan wayangs ecara lengkap seperti menggunakan kelir, pohon pisang, blencong dan sebagainya adalah Sunan Kalijaga.

Wayang itu sendiri berasal dari kata ‘wod’ dan ‘yang’ serta merupakan kebudayaan asli Indonesia. ‘Wod’ dan ‘Yang’ berarti bayangan yang bergerak atau bergoyang. Dr.Hazeu berpendapat bahwa perkataan yang berasal dari Hyang, maksudnya adalah leluhur. Hal ini dapat disamakan dengan perkataan Jawa “Eyang”.

Beberapa pendapat bahwa wayang adalah kebudayaan Nasional Indonesia asli:
1. Teori yang dikemukakan oleh Dr. J. Brandes dari segi penyelidikan bahasa bahwa semua perabot-perabot/alat-alat pewayangan/pedalangan tidak ada yang bertalian dengan bahasa Sansekerta, berarti tidaka da yang berasal dari India atau kata lain Indonesia asli dan bangsa Indonesia mempunyai corak teater sendiri yang berbeda dengan corak teater India.
2. Teori yang dikemukakan oleh W.H Ressers dari segi penyelidikan Antropologi Budaya, bahwa yang berasal dari kegiatan upacara Totenisme.
3. Teori yang dikemukakan oleh Dr. Albert C. Krujit dari segi penyelidikan tradisi Toraja, bahwa wayang berasal dari kegiatan upacara Dukunisme.
4. Teori yang dikemukakan oleh W.H Stuterheim dari segi penyelidikan sejarah kebudayaan dan teori yang dikemukakan oleh Dr. Hazeu, yang keduannya berpendapat bahwa wayang berasal dari upacara pemujaan arwah nenek moyang.

Kesenian wayang khususnya wayang kulit purwa, selama lebih dari seribu tahun telah dikenal dan digemari oleh rakyat Indonesia. Sebuah inskripsi dari tahun 907 Masehi pada masa pertengahan raja Dyah Balitung telah menyebutnya dengan tegas dan jelas bahwa berita adanya wayang kulit purwa tertera dalam sebuah kakawin karya Mpu Kanwa dari jama raja Erlanga dari Jawa Timur dalam abad ke 11. Tidak henti-hentinya bentuk seni budaya yang dinamakan wayang ini dalam berbagai gaya dan jenisnya benar-benar menarik perhatian rakyat dari berbagai daerah dan selalu dibicarakan oleh berbagai ahli sosial seni budaya baik dari dalam maupun luar negeri yang menulis tentang seni pewayangan di Indonesia.

Kesenian wayang yang berkembang dan hidup di Indonesia tersebar di pulau-pulau antara lain: Jawa, Lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-lain, baik yang masih populer maupun yang hampir punah atau dikenal dalam kepustakaan-kepustakaan dan yang terdapat di museum-museum, dan timbulnya beberapa wayang baru akhir-akhir ini seperti wayang Sadar dan wayang Warta dari daerah Klaten dan wayang Sadosa dari STSI Surakarta. Adapun macam dan jenis wayang antara lain:
1. Wayang Purwa
2. Wayang Madya
3. Wayang Gedog
4. Wayang Kulit Menak
5. Wayang Wahyu
6. Wayang Klitik
7. Wayang Beber
8. Wayang Jawa
9. Wayang Dobel
10. Wayang Jemblung (Jawa)
11. Wayang Ramayana (Bali)
12. Wayang Purwa (Bali)
13. Wayang Gambuh (Bali)
14. Wayang Cupak (Bali)
15. Wayang Sasak (Lombok)
16. Wayang Betawi (Bali)
17. Wayang Banjar (Kalimantan)
18. Wayang Golek (Sunda)
19. Wayang Golek Menak (Jawa)
20. Wayang Pakuan (Sunda)
21. Wayang Orang (Jawa)
22. Wayang Topeng (dari berbagai suku)

Diantara wayang-wayang tersebut yang paling populer dan tersebar luas dan paling banyak disoroti di dalam maupung di luar negeri adalah wayang purwa, yang sejarah dan perkembangannya telah diketahui paling tidak sejak abad ke 11, yang telah dijadikan objek studi para sarjana daam dan luar negeri selama berabad-abad.

Untuk mengenal wayang secara mendasar, hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: a. Unsur Pelaku dan Peralatan. Pelaku terdiri dari Dalang, Niyaga (pengrawit atau penabuh gamelan) dan Pesinden (swarawati atau penyanyi wanita). Perlengkapan/Peralatan terdiri dari wayang kulit, kelir (layar dari katun), blencong (lampu), debog (batang pisang), cempala (pemukul kotak), kotak (kotak kayu), kepyak atau keprak, dan gamelan. b. Unsur Pertunjukan. ang dilihat adalah Sabetan (gerak wayang). Sedangkan yang didengar adalah janturan, catur (ginem, pocapan), carios atau kanda, suluk, tembang, dhodhokan, kepyak atau kaprakan, gending, gerongan, sindhenan.


Sumber Cerita Wayang Purwa

Pada jaman prasejarah telah kita ketahui bersama bahwa wayang itu adalah kebudayaan nasional Indonesia asli yang kemudian kena pengaruh kebudayaan Hindu. Adapun cerita Jawa asli yang sampai sekarang masih ada, misalnya cerita Prabu Watugunung yang akhirnya menjadi pawukon dan Prabu Mikukuhan yang menceritakan asal mula adanya padi dan Semar, Gareng, Petruk serta Bagong adalah wayang Indonesia kuno.

Sumber cerita yang akhirnya berkembang dari tanah Hindu tersebut adalah Ramayana dan Mahabharata. Ada beberapa pendapat cerita Ramayana dikarang oleh pujangga besar dari India bernama Walmiki, sedang Mahabharata oleh Wiyasa. Cerita Ramayana dan Mahabharata dalam dunia sastra sangat terkenal tidak hanya di tanah Jawa saja melainkan sampai di tanah Asia. Demikian besar pengaruh Ramayana dan Mahabharata merupakan pedoman hidup (pepakem) yang berhubungan dengan masalah: agama, filsafat, politik, masyarakat, kepribadian, keluarga, keperwiraan, keutamaan, dsb.

Pada intisari cerita Ramayana timbulnya peperangan antara Rahwana dan Rama adalah memperebutkan Dewi Shinta, sedangkan intisari dari Mahabharata terjadinya perang Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa yang diperebutkan adalah bumi Hastina. Dengan demikian jelas bahwa tema kedua epos tersebut wanita dan bumi. Tema tersebut juga terdapat pada kehidupan kita yang sifatnya universal. Dalam kehidupan kita ada istilah “Sedumuk bathuk senyari bumi dipun labeti pecahing dhadha wutahing ludira”. Cerita Ramayana dan Mahabharata yang mengandung nilai-nilai luhur tersebut oleh para leluhur kita dianggit disesuaikan dengan kebutuhan bangsa kita seusai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ada yang menyalin Ramayana dan Mahabharata kedalam bahasa Jawa Kuno.

Ada sementara yang menyebut karangan baru tetapi tetap menggunakan kedua wiracarita tersebut sebagai sumber (babon), dan membuat cerita yang dapat dipergelarkan dalam seni pedalangan wayang purwa. Akhirnya kedua babon kitab tersebut berkembang menjadi pakem lakon wayang purwa. Adapun kitab-kitab yang membuat sumber cerita pedalangan adalah sebagai berikut:
1. Kitab Ramayana (Jaman Dyah Balitung 900 M)
2. Utarakandha (menceritakan lahirnya Kusa dan Lawa putera Dewi Sinta dan matinya Dewi Sinta terperosok ke Bumi)
3. Adiparwa (Jaman Darmawangsa, terdapat cerita Dewi Lara Amis, Bale Segala-gala, Peksi Dewata dan matinya Arimba)
4. Sabhaparwa (cerita Pandawa Dadu)
5. Wirataparwa (Para Pandawa mengabdi di Wirata)
6. Udyogaparwa (Kresna gugah)
7. Bismaparwa (Bisma Gugur)
8. Asramawasanaparwa (cerita Drestarasta mati)
9. maosalaparwa (cerita matinya darah Wresni dan Yadu)
10. Prastanikaparwa (cerita Pandawa Puterpuja)
11. Arjunawiwaha (Karya Mpu kanwa jaman raja Erlangga gubahan dari kitab wanaparwa yang akhirnya menjadi cerita Mintaraga atau Begawan Ciptoning)
12. Kresnayana (Jaman Kediri 1104 M di dalam seni pedalangan menjadi cerita Kresnakembang)
13. Bomakawya (Matinya Prabu Boma oleh Kresna)
14. Baratayuda (Karya Mpu Sedah dan Panuluh pada jaman kediri, Prabu Jayabaya)
15. Gathutkacasraya (Perkawinan Abimanyu dan Siti Sendari)
16. Arjunawijaya (gubahan dari Utarakandha) cerita perangnya Prabu Dasamuka dengan Danaraja
17. Korawasrama (cerita Wirataparwa)
18. Dewaruci (Karya pujangga jawa Empu Ciwamurti)
19. Sudamala )tergolong cerita ruwatan)
20. Manikmaya (Yasan jaman Kartasura, setelah orang jawa menganut agam Islam)
21. Kanda (serat kandha) yasan jaman Kartasura, disini mulai membaur cerita Hindu, Jawi dan Islam.
22. Bhartayuda yasadipuran jaman Surakarta
23. Arjunasasra (Lokapala) Yasadipuran II petikan dari kitab Ajuna Wijaya
24. Arjunasasrabahu (karagan Kyai Sindusastra jaman PB VII, dalam kitab tersebut terdapat ceritera Sugriwa Subali dengan mengambil babon serat Kandha)
25. Kitab Paramayoga (karya R. Ng. Rangawarsito isinya menceritakan Nabi Adam dan keturunannya sampai jaman Tanah Jawa dihuni oleh manusia)
26. Pustakarajapurwa (karangan Ki Ng. Rangawarsito memuat cerita wayang).

Demikianlah beberapa sumber yang menjadi babon pakem cerita dalam seni pedalangan wayang purwa. Lakon-lakon carangan yang berkembang akhir- akhir ini yang dihimpun oleh proyek dokumentasi STSI Surakarta merupakan karya-karya yang menambah kekayaan perbendaharaan cerita wayang.

Lakon dan Pengaturan Wayang

Secara garis besar lakon wayang purwa dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Prasejarah menceritakan tentang ksiah para dewa di Kahyangan, ajaran dewa kepada anak manusia, juga kisah kejahatan raksasa maupun setan yang mengganggu manusia, juga kisah kejahatan raksasa mapun setan yang mengganggu manusia, Sebagian besar cerita dewa-dewa dan raksasa ini diambil dari Mahabharata, tetapi sebagian didasarkan pada dongen tutur tinular yang berkembang di Jawa.
2. Cerita Arjunasasrabahu yang diawali dari keberadaan negara Maespati sebagai penerus dinasi Purwacarita (penjilmaan dewa Wisnu) hingga tamatnya riwayat Prabu Harjunasasrabahu.
3. Cerita Rama, isinya diawali dari runtuhnya kerajaan Maespati dilanjutkan petualangan Dasamuka, kisah Rama Sinta dan berakhir pada lakon Rama menjelma (nitis).
4. Cerita Mahabharata, isinya menceritakan para leluhur Pandawa hingga Pandawa muksa.

Pengaturan wayang adalah penataan wayang yang akan dipakai untuk pertunjukan sesuai dengan letak maupun posisinya. Jumlah wayang lengkap dalam satu kotak hampir mencapai 500 buah, dand ari sekian banyak wayang tersebut, penataannya terbagi menurut jenisnya, yaitu wayang simpingan, wayang eblekan dan wayang dudahan.

Wayang simpingan adalah wayang yang dijajar pada lajur kiri maupun lajur kanan, maka disebut simpingan kiri dan simpingan kanan. Wayang simpingan kiri antara lain:
1. Raksasa raja atau dalam istilah pewayangan disebut buta raton terdiri dari Balasewu, Niwatakawaca, Kumbakarna, Batara Kala, Maesasura dan sebagainya.
2. Raksasa muda atau buata patihan yang terdiri dari Suratimantra, Prahasta, Lembusura, dll.
3. Dasamuka terdiri beberapa wanda (wanda iblis, wanda belis, wanda barong, dll
4. Sugriwa – Subali
5. Wayang Bapang atau Ratu Sabrang seperti Susarma, Susarman, Manima, Maniman, dll
6. Wayang Boma tediri dari Bomanarakasura wanda iblis, Jaya Wikata, Bomawikata, Bogadenta, Bomantara, Gardapura, Gardapati, dll
7. Patih Sabrang antara lain Trikaya, Trinetra, Trisirah, Kangsa, Indrajit, dll
8. Prabu Duryudana
9. Raden Kurupati
10. Prabu Baladewa dengan beberapa wanda.
11. Raden Kakrasana
12. Raja Wirata terdiri Basurata, Basukeswara, Basumurti, Basuketi, Matsyapati.
13. Prabu Salya
14. Prabu Drupada
15. Basukarna dengan beberapa wanda.
16. Wayang sabrang alusan misalnya Dewasrani, Sasramurti, dll
17. Setyaki dengan beberapa wanda.
18. Raden Seta, Utara dan Wratsangka
19. Raden Ugrasena
20. Yamawidura dan Drestarata
21. Lesmana Mandrakumara
22. Narayana dan Narasoma
23. Samba, Setyaka dan Rukmarata
24. Wayang bambangan antara lain Priyambada, Irawan, Wisanggeni, Bambang Srambahan, Nakula dan Sadewa.

Wayang simpangan kanan antara lain:
1. Prabu Tuguwasesa dengan beberapa wanda.
2. Raden Werkudara dari beberapa wanda.
3. Raden Bratasena dari beberapa wanda.
4. Rama Bargawa
5. Prabu Suteja
6. Raden Gatotkaca dari beberapa wanda.
7. Raden Antareja
8. Anoman dari beberapa wanda
9. Batara Guru 10. Durga
11. WayangRama terdiri Prabu Arjunasasrabahu, Prabu Rama, Parikesit, Jayamurcita.
12. Prabu kresna dari beberapa wanda.
13. Prabu Yudistira
14. Raden Puntadewa
15. Arjuna dari beberapa wanda
16. Prabu Pandu
17. Raden Premadi, Suryatmaja, dan Kumajaya
18. Bambang Sekutrem
19. Raden Lesmana
20. Bambang Palasara
21. Raden Abimanyu
22. Wayang putren terdiri dari beberapa putri misalnya Banowati, Subadra, Srikandi.
23. Wayang putran atau wayang bayi.

Wayang simpingan yang disebutkan di atas hanya merupakan garis besar saja, jadi masih banyak tokoh-tokoh yang belum disebutkan disini. Wayang eblekan yaitu wayang yang diatur rapi di dalam kotak dan tidak termasuk disimping. Contoh wayang eblekan antara lain wayang dewa, wayang wanara, wayang reksasa, wayang prajurit atau wayang tatagan dan lain-lain. Sedangkan wayang duduhan yaitu wayang yang diatur pada sisi kanan dalang dan atau wayang yang akan digunakan di dalam pakeliaran. Sedangkan yang termasuk wayang dudahan antara lain rampogan, kreta, wayang kewan, pendita, panakawan, limbuk cangik dan lain-lain.

Jika anda nonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan padat, maka jika direnungkan benar- benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai filosofi. Secara gampang saja baru melihat simpingan wayang, orang telah mempunyai penilaian, bahwa simpingan kanan melambangkan tokoh yang baik, simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk. Kalau kita melihat perangnya wayang, wayang yang diletakkan atau diperangkan tangan kiri pasti kalah. Tetapi hal ini tidak semua benar.

Didalam pdalangan kita kaya nilai-nilai didalamnya. Nilai-nilai didalam pedalangan antara lain: kepahlawan, kesetiaan, keangkara murkaan, kejujuran, dll.
1. Nilai kepahlawanan ada pada tokoh: Kumbakarna, Adipati Karna.
2. Nilai kesetiaan terdapat pada tokoh: Dewi Sinta, Raden Sumantri, dll
3. Nilai keankaramurkaan terdapat pada tokoh: Rahwana, Duryudana, dll.
4. Nilai kejujuran terdapat pada tokoh: Puntadewa.


Kayon / Gunungan

Gunungan atau di dalam pakeliran disebut kayon, pertama diciptakan oleh Raden Patah. Dinamakan gunungan karena bentuknya menyerupai gunung yang memiliki puncak dan terdapat pada setiap pagelaran wayang (wayang purwa, wayang krucil, wayang golek, wayang gedok, wayang suluh, dll).

Menurut bentuknya, gunungan atau kayon ini dapat dibedakan menjadi dua macam.

1. Kayon gapuran berbentuk ramping dan pada bagian bawah bergambar gapua yang pada sisi sebelah kiri maupun kanan di jaga oleh raksasa Cingkarabala dan Balaupata. Sedangkan pada bagian belakang terdapat lukisan api merah membara.

2. kayon blumbangan, bentuknya agak gemuk dan lebih pendek bila dibanding dengan kayon gapuran, Pada bagian bawah terdapat lukisan kolam dengan air yang jernih yang ditengahnya terdapat lukisan sepasang ikan berhadapan. Sedangkan pada bagian belakang berambar lautan atau langit yang berawarna biru gradasi.

Gunungan secara lengkap biasanya terdapat lukisan teridiri:
1. Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga dan pada bagian daun pintu rumah dihiasi lukisan Kamajaya berhadapan dengan Dewi Ratih.
2. Dua raksasa berhadapand engan membawa senjata pedang atau gada lengkap dengan tamengnya.
3. Duia naga bersayap.
4. Hutan belantara penuh dengan satwanya.
5. Gambar harimau berhadapan dengan banteng.
6. Pohon besar ditengah hutan yang dililit seokar ular.
7. Kepala makara di tengah pohon.
8. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas ranting.
9. Dua ekor ayam alas sedang bertengger diatas cabang pohon.

Gambar-gambar yang terdapat pada kayon tersebut menggambarkan alam semesta lengkap dengan isinya. Gunungan di dalam pagelaran wayang kulit mempunyai fungsi yang sangat penting, antara lain:
1. Sebagai tanda dimulaiya pentas pedalangan, yakni fungsi dengan dicabutnya kayon di tengah kelir kemudian ditancapkan pada posisi sebelah kanan.
2. Sebagai tanda perubahan adegan atau menggambarkan suasana dengan cara gunungan digerakkan diikuti cerita dalang.
3. Digunakan untuk tanda pergantian waktu, baik dari patet nem ke patet sanga, atau dari patet swanga ke patet manyura dengan mengubah posisi kayon dari condong ke kanan menjadi tegak lurus dan terakhir kayon condong ke arah kiri.
4. Untuk menggambarkan sebuah wahyu dari dewa, atau sebagai angin maupun udara dengan menggerakkan gunungan sesuai arah yang dikehendaki.
5. Untuk menggambarkan api dengan membalik kayon sehingga yang tampak api membara dari kepala makara.
6. Untuk menandai berakhirnya pertunjukan dengan menancapkan kayon di tengah-tengah, serta digunakan untuk kepentingan pagelaran sesuai dengan kehendak dalang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar